Fauzi tersenyum puas. Sekujur tubuhnya masih basah dengan pakaian selam yang dikenakannya. Beberapa saat sebelumnya ia puas menyelam (fun diving) berkeliling mengitari terumbu karang di sekeliling pantai Pulau Tinabo yang jernih. Tak henti-hentinya ia berdecak kagum dengan apa yang dilihatnya.
Fauzi adalah satu dari puluhan peserta Takabonerate Island Expedition (TIE) yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Selama lima hari (2-6 September) mereka dimanjakan oleh beragam pesona laut, baik di daratan maupun di bawah laut.
Fauzi sehari-hari adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Akuntansi di Jakarta. Ia secara khusus datang ke Selayar untuk mengikuti TIE. Peserta lain juga datang dari jauh, dari Gorontalo, Surabaya, Malang, Palu dan sebagian besar berasal dari Makassar, dengan profesi berbeda-beda. Mulai dari pegawai bank, dokter, karyawan swasta, blogger dan sebagian juga jurnalis.
Pelaksanaan TIE sendiri telah memasuki tahun ketujuh. Tujuannya adalah mengenalkan keindahan Taman Nasional Laut Takabonerate, dengan potensi wisata laut yang tak kalah indahnya dibanding Taman Laut Bunaken di Manado dan Raja Ampat di Papua Barat. Sebagian besar terumbu karang sepanjang perairan ini masih sangat alami tak terjamah dengan belasan titik penyelaman di dalamnya.
Kegiatan utama di Takabonerate terbagi atas dua, yaitu land tour dan diving di tiga titik yang telah disiapkan oleh panitia dari Taman Nasional Takabonerate.
Kelompok land tour diajak berkunjung ke Pulau Rajuni Kecil, berbincang dengan masyarakat pulau yang terdiri dari orang Bajo dan Bugis. Sementara kelompok diving menuju ke titik selam yang telah ditetapkan oleh panitia, di Tinabo dan Jinato.
Pada sore harinya, semua peserta diajak ke sebuah gosong, yang mengingatkan kita pada film Pirates of Carrabien. Di lokasi ini para peserta, beserta sejumlah wiasatawan dari Australia melakukan aksi pelepasan tukik.
Di Pulau Tonabo sendiri, pemandangan alam di sore hari tak kalah menakjubannya. Setiap sore kita dimanjakan oleh pamandangan sunset. Beberapa peserta juga melakukan snorkling dan mengayuh kayak atau sekedar berfoto selfie dengan latar warna laut keemasan.
Hal lain yang bisa dinikmati adalah memberi makan kepada anak-anak hiu yang dengan mudah ditemui di tempat itu, cukup dengan memberi potongan ikan yang masih segar.
“Ikan hiu sangat sensitive dengan bau darah, jadi mereka akan datang kalau diberi potongan ikan yang masih segar-segar,” ungkap Yasri, salah seorang petugas patroli dari TN Takabonerate yang memandu para pesiar ini.
Beberapa peserta yang mengikuti kegiatan ini menyatakan kepuasan dan ketakjuban dengan keindahan yang disajikan oleh TN Takabonerate ini.
Mayang, seorang dosen dari Gorontalo menilai perjalanan ekspedisi ini sangat seru meskipun ia tak sempat menyelam dan hanya berwisata land tour.
“Ini menakjubkan. Banyak hal yang bias dinikmati, apalagi di sore hari. Semakin seru karena kita ramai-ramai dengan orang yang sebelumnya tak saling kenal,” katanya.
Meski puas dengan ekspedisi ini, namun ia juga mengeluhkan beberapa hal, seperti kurangnya informasi tentang kegiatan serta pengelolaan kegiatan yang seperti tak terkelola dengan baik.
“Kita baru tahu seminggu lalu dan itupun dengan informasi yang terbatas, misalnya apa saja yang disiapkan oleh panitia, kondisi lapangan bagaimana dan sebagainya. Ini penting agar kami bisa memperkirakan dengan baik kebutuhan-kebutuhan di lapangan,” katanya.
Fauzi, peserta lain menyayangkan belum terkelolanya industri wisata di Takabonerate meskipun memiliki potensi keindahan yang sangat besar.
“Sayang sekali dengan potensi wisata sebesar ini belum dikembangkan dengan baik,” ungkap Fauzy.
Terkait adanya keluhan ini diakui Ronald sebagai hal yang wajar. Diakuinya selama ini memang kordinasi antara Pemda dengan pihak TN Takabonerate serta instansi lain terkait memang masih sangat kurang. Termasuk yang paling banya dikeluhkan adalah akses transportasi yang mahal serta fasilitas air minum yang terbatas. Meski terdapat penyulingan air, namun karena kadar garam yang tinggi, air yang digunakan masih terasa sangat asin.
Mengenal Takabonerate
Kepulauan Takabonerate yang menjadi sasaran kunjungan para pesiar ini terletak di Laut Flores bagian utara, yang terdiri dari 21 pulau, yang membentuk lingkaran dan dikelilingi oleh terumbu karang.
Pulau-pulau berpenghuni antara lain Pulau Latondu, Rajuni Besar dan Rajuni Kecil, Tarupa, Jinato, Pasitallu Tengah dan Pasitallu Timur. Selebihnya berupa pulau kosong dan patch reef (gosong), yang muncul ke permukaan pada saat air surut.
Kepulauan ini memiliki luas sekitar 530.765 hektar dengan luas Atol kurang lebih 220 ribu hektar. Bentuk karang berupa barrier reef (penghalang), fringing reef (terumbu karang tepi) dan atol (cincin lingkaran) yang dibentuk oleh 261 jenis karang.
Sejak tahun 1992, kawasan ini ditetapkan pemerintah sebagai taman nasional. Takabonerate memiliki kawasan atol tebesar ketiga di dunia setelah Kwajifein di Kepulauan Marshal dan Suvadiva di Kepulauan Maladewa. Pada tahun 2005 Takabonerate ini telah diusulkan ke UNESCO sebagai salah satu situs warisan dunia.
Menurut Ronald Yusuf, salah seorang staf dari TN Takabonerate, musim kunjungan terbak adalah antara April-Juni dan Oktober-Desember setiap tahunnya.
Ronald juga menjelaskan beberapa titik penyelaman antara lain Ibel Orange 1, yang berlokasi di Pulau Tinabo Besar. Topografi di titik selam ini berupa gundukan karang (pinnacle) dengan kedalaman 15-25 m dan visibility 5-10 meter.
“Kondisi karang bagus dengan tutupan 35-65 persen, dominan hard coral dan soft coral.,” katanya.
Ada juga di Joan Garden, berlokasi di Pulau Tinabo Kecil, berupa taka tenggelam dengan kedalaman 10-25 meter dan vibility 10-15 meter. Kondisi karangnya juga dinilai sangat bagus dengan tutupan karang 45-80 persen, yang didominasi hard coral dan soft coral.
Spot lain adalah Spot Pinly Fish, yang berlokasi di Pulau Tarupa Kecil dengan topografi reef flat, memiliki kedalaman 5-8 meter dan visibility 12 meter.
“Di sini ditumbuhi karang yang rapat dengan dominasi hard coral dan soft coral.”
Di Pulau Latondu, terdapat spot Wall Reef dengan topografi drop off dengan kedalaman 20 meter dan visibility 4-8 meter. Tutupan karang sangat bagus dengan tutupan 50-89 persen dengan dominan karang soft coral dan hard corl.
“Di sini banyak ditemukan ikan karang seperti sanpper, sweetlips, barracuda, butterfly fish dan lainnya. Ada juga ikan pelagis seperti tarvelling dan tuna.”
Bagaimana mencapai Takabonerate?
Untuk menjejali keindahan Takabonerate maka kita harus menuju Pulau Tinabo terlebih dahulu. Di pulau kecil, yang dulunya tak bepenghuni ini terdapat salah satu Posko TN Takabonerate dan sejumlah resort, tempat wisatawan bias beristirahat dan mempersiapkan segala peralatan. Sewa resort nya tergolong murah, meski dengan fasilitas yang masih sangat terbatas.
Perjalanan menuju Pulau Tinabo cukup melelahkan. Dari Makassar kita harus berkendaraan mobil sejauh 200 km ke Kabupaten Bulukumba, tepatnya ke pelabuhan Bira Bulukumba, sebelum akhirnya menyebrang ke Pelabuhan Pamatata Selayar. Dari Makassar ke Dermaga Bulukumba sendiri butuh waktu hingga 5 jam. Sementara dari pelabuhan Bira ke Pamatata butuh waktu sekitar 2 jam. Dari Pamatata ke Kota Benteng, ibukota Selayar harus berkendaraan lagi sekitar 1 jam perjalanan.
Alternatif udara sebenarnya juga memungkinkan, yaitu melalui Bandara Hasanuddin ke Bandara Aroepala Selayar. Jalur udara menggunakan bisa menggunakan Wings Air yang berangkat dari Makassar sekitar pukul 08.55 setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu dengan tarif Rp 440 ribu, waktu tempuh 20 menit. Ada juga Avia Star, dengan harga tiket sekitar Rp 250 ribu, kapasitas 18 kursi, yang berangkat tiap hari Senin, Rabu dan Jumat, waktu tempuh 40 menit.
Untuk menuju Tinabo, belum ada transportasi regular, sehingga harus sewa speedboat dengan biaya sekitar Rp 5 juta, untuk perjalanan selama 3 hari. Menurut Ronald Yusuf, itu sudah termasuk dengan ongkos penginapan tiga hari, restribusi ke TN Takabonerate, dan keliling ke spot-spot penyelaman yang diinginkan.
“Sebenarnya ada paket-paket juga, tergantung kita mau paket yang mana. Biaya minimanl itu Rp 5 juta per rombongan untuk beberapa orang,” ungkap Ronald.
Alternatif lain bisa menumpang ke kapal warga menuju Pulau Rajuni Kecil, meski untuk ini tak ada jadwal yang pasti. []
Penulis: Wahyu Chandra (wahyuch@outlook.com). Sumber tulisan: http://www.mongabay.co.id